Gotong Royong
Gotong-royong adalah salah satu contoh pola perilaku yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Pola ini tidak hanya ditemukan di dalam kehidupan masyarakat pedesaan, namun juga di beberapa daerah perkotaan. Pola perilaku adalah perilaku yang sudah tersusun atau terpola karena perilaku tersebut dilakukan berulang kali. Banyak pola perilaku masyarakat Indonesia yang memberikan sumbangsih positif bagi masyarakat dan lingkungannya, seperti gotong-royong, saling berbagi dengan tetangga, bermusyawarah, dan masih banyak lagi.
Gotong-royong sudah tidak dapat
dipungkiri lagi sebagai ciri khas bangsa Indonesia yang turun temurun, sehingga
keberadaannya harus dipertahankan. Pola seperti ini merupakan bentuk nyata dari
solidaritas mekanik yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, sehingga setiap
warga yang terlibat di dalamnya memiliki hak untuk dibantu dan berkewajiban
untuk membantu, dengan kata lain di dalamnya terdapat azas timbal balik.
Gotong-royong akan memudar apabila rasa kebersamaan mulai menurun dan setiap pekerjaan tidak lagi terdapat bantuan sukarela, bahkan telah dinilai dengan materi atau uang. Sehingga jasa selalu diperhitungkan dalam bentuk keuntungan materi, yang akibatnya rasa kebersamaan makin lama akan semakin menipis dan penghargaan hanya dapat dinilai bagi mereka yang memiliki dan membayar dengan uang.
Gotong-royong akan memudar apabila rasa kebersamaan mulai menurun dan setiap pekerjaan tidak lagi terdapat bantuan sukarela, bahkan telah dinilai dengan materi atau uang. Sehingga jasa selalu diperhitungkan dalam bentuk keuntungan materi, yang akibatnya rasa kebersamaan makin lama akan semakin menipis dan penghargaan hanya dapat dinilai bagi mereka yang memiliki dan membayar dengan uang.
Tampaknya untuk kondisi yang serba materi seperti ini jangan sampai terjadi, karena nilai-nilai kebersamaan yang selama ini dijunjung tinggi menjadi tidak ada artinya lagi.
Gotong-royong memiliki nilai yang luhur, harus tetap ada, dan terus menjadi bagian dari kehidupan yang menjunjung tinggi kemanusiaan, karena di dalam kegiatan gotong-royong, setiap pekerjaan dilakukan secara bersama-sama tanpa memandang kedudukan seseorang tetapi memandang keterlibatan dalam suatu proses pekerjaan sampai sesuai dengan yang diharapkan.
Macam - Macam Gotong Royong Di Indonesia
:
1.
1. Gotong Royong
Sambatan
Sambatan dalam masyarakat Jawa merupakan
suatu sistem gotong royong di kampung dengan cara menggerakkan tenaga kerja
secara masal yang berasal dari warga kampung itu sendiri untuk membantu
keluarga yang sedang tertimpa musibah atau sedang mengerjakan sesuatu, seperti
membangun rumah, menanam serta memanen padi dan menyelenggarakan pesta
pernikahan. Tujuannya meringankan pekerjaan seseorang secara benar.
Sambatan di kampung biasanya juga model atau cara yang berbeda-beda.
Sambatan. kata sambatan berasal dari kata dasar "sambat" yang artinya keluh/keluhan yang mendapat akhiran -an yang artinya adalah menjadi bergotong royong untuk membantu menyelesaikan suatu pekerjaan agar segera cepat selesai. Dalam hal ini keluhan yang dimaksud dalam kata sambat yaitu pekerjaan atau kegiatan yang di kerjakan beramai-ramai tersebut.
Sambatan. kata sambatan berasal dari kata dasar "sambat" yang artinya keluh/keluhan yang mendapat akhiran -an yang artinya adalah menjadi bergotong royong untuk membantu menyelesaikan suatu pekerjaan agar segera cepat selesai. Dalam hal ini keluhan yang dimaksud dalam kata sambat yaitu pekerjaan atau kegiatan yang di kerjakan beramai-ramai tersebut.
2. Gotong Royong Masyarakat Bali
masyarakat yangberada di pulau Bali,
khususnya bagi yang beragama Hindu. Yang menariknya adalah masyarakat Hindu
Bali yang berada di perantauan ternyata juga masih menerapkan sistem gotong
royong dan ikatan masyarakat yang digunakan di Bali.
Banjar, adalah ikatan sekelompok masyarakat yang tingkatannya berada di bawah desa adat. Seperti halnya desa adat, banjar juga memiliki peraturan yang mengikat anggotanya. Umumnya anggota banjar ditentukan berdasarkan domisili yang berdekatan, walaupun tidak tertutup kemungkinan warga perantauan yang bertempat tinggal nun jauh di ujung dunia tetap menjadi anggota dan terikat dengan peraturan banjar di desa asalnya. Sebagai pusat dari Banjar, di Bali dikenal adanya Bale Banjar sedangkan di perantauan menggunakan Pura sebagai pusatnya. Untuk Banjar di luar Bali, karena anggotanya tersebar luas, wilayah yang dilingkupi jauh lebih besar. Misal saja untuk di Jakarta mengikuti pembagian wilayah kotamadya yang ada. Walaupun demikian bisa saja terjadi mereka yang berdomisili di Jakarta Barat, karena alasan tertentu, masuk ke ikatan Banjar di Tangerang, sesuatu yang tidak wajar kalau dilakukan di Bali. Sedikit lebih kecil dari Banjar, dikenal adanya ikatan yang disebut dengan Tempek (e dibaca seperti pada kata ember) dengan anggota sekitar puluhan orang sampai seratusan. Lebih kecil lagi, setiap Tempek dibagi ke dalam kelompok.
Kewajiban gotong royong yang dilakukan juga tidak berbeda seperti yang dilakukan di Bali. Misalkan saja arisan warga, membantu persiapan kegiatan upacara keagamaan di pura, memberikan sumbangan kepada keluarga yang ditimpa musibah atau membantu pada acara seperti perkawinan atau kematian. Untuk setiap pekerjaan yang memerlukan keterlibatan tenaga kerja ditentukan seberapa banyak tenaga yang diperlukan. Selain untuk pembagian tugas dari masing - masing orang, jumlah tenaga yang terlibat juga menentukan berapa makanan yang harus disediakan oleh pemberi kerja. Misal dalam suatu upacara perkawinan, karena kegiatan yang ada tidak terlalu besar, bisa saja cukup melibatkan hanya satu kelompok dari Tempek.
Sebagai pengganti upah disediakan makanan dan minuman. Untuk pekerjaan yang dimulai pagi hari akan disediakan sarapan plus kopi dan teh. Menunya bervariasi, kalau di Bali tentu saja ndak lepas dari “menu yang itu”, sementarakalau di perantauan akan didominasi oleh makanan yang “umum” seperti tahu, tempe, telor, ayam goreng. Sayurnya bisa berupa urap, atau jika beruntung bisa mendapatkan hidangan Jukut Ares alias sayur batang pisang muda yang jarang bisa didapatkan di luar Bali. Jika pekerjaan direncanakan sampai dengan lewat tengah hari, disediakan juga makan siang.
Secara perhitungan mungkin saja menyediakan makanan dan minuman akan mengeluarkan biaya yang sedikit lebih besar dibanding mengggunakan tenaga bayaran, tetapi ikatan kemasyarakatan ditempatkan pada prioritas yang lebih tinggi dibanding dengan materi. Satu ciri khas dalam acara gotong royong adalah adanya kesempatan untuk bersoasialisasi dengan sesama warga, saling bertukar kabar, dan kesempatan untuk menjaga keakraban dengan warga lain. Secara tidak langsung, setiap warga akan diajarkan tentang satu bagian dari konsep Tri Hita Karana, bahwa keseimbangan hidup akan tercapai dengan membina hubungan baik dengan sesame.
Banjar, adalah ikatan sekelompok masyarakat yang tingkatannya berada di bawah desa adat. Seperti halnya desa adat, banjar juga memiliki peraturan yang mengikat anggotanya. Umumnya anggota banjar ditentukan berdasarkan domisili yang berdekatan, walaupun tidak tertutup kemungkinan warga perantauan yang bertempat tinggal nun jauh di ujung dunia tetap menjadi anggota dan terikat dengan peraturan banjar di desa asalnya. Sebagai pusat dari Banjar, di Bali dikenal adanya Bale Banjar sedangkan di perantauan menggunakan Pura sebagai pusatnya. Untuk Banjar di luar Bali, karena anggotanya tersebar luas, wilayah yang dilingkupi jauh lebih besar. Misal saja untuk di Jakarta mengikuti pembagian wilayah kotamadya yang ada. Walaupun demikian bisa saja terjadi mereka yang berdomisili di Jakarta Barat, karena alasan tertentu, masuk ke ikatan Banjar di Tangerang, sesuatu yang tidak wajar kalau dilakukan di Bali. Sedikit lebih kecil dari Banjar, dikenal adanya ikatan yang disebut dengan Tempek (e dibaca seperti pada kata ember) dengan anggota sekitar puluhan orang sampai seratusan. Lebih kecil lagi, setiap Tempek dibagi ke dalam kelompok.
Kewajiban gotong royong yang dilakukan juga tidak berbeda seperti yang dilakukan di Bali. Misalkan saja arisan warga, membantu persiapan kegiatan upacara keagamaan di pura, memberikan sumbangan kepada keluarga yang ditimpa musibah atau membantu pada acara seperti perkawinan atau kematian. Untuk setiap pekerjaan yang memerlukan keterlibatan tenaga kerja ditentukan seberapa banyak tenaga yang diperlukan. Selain untuk pembagian tugas dari masing - masing orang, jumlah tenaga yang terlibat juga menentukan berapa makanan yang harus disediakan oleh pemberi kerja. Misal dalam suatu upacara perkawinan, karena kegiatan yang ada tidak terlalu besar, bisa saja cukup melibatkan hanya satu kelompok dari Tempek.
Sebagai pengganti upah disediakan makanan dan minuman. Untuk pekerjaan yang dimulai pagi hari akan disediakan sarapan plus kopi dan teh. Menunya bervariasi, kalau di Bali tentu saja ndak lepas dari “menu yang itu”, sementarakalau di perantauan akan didominasi oleh makanan yang “umum” seperti tahu, tempe, telor, ayam goreng. Sayurnya bisa berupa urap, atau jika beruntung bisa mendapatkan hidangan Jukut Ares alias sayur batang pisang muda yang jarang bisa didapatkan di luar Bali. Jika pekerjaan direncanakan sampai dengan lewat tengah hari, disediakan juga makan siang.
Secara perhitungan mungkin saja menyediakan makanan dan minuman akan mengeluarkan biaya yang sedikit lebih besar dibanding mengggunakan tenaga bayaran, tetapi ikatan kemasyarakatan ditempatkan pada prioritas yang lebih tinggi dibanding dengan materi. Satu ciri khas dalam acara gotong royong adalah adanya kesempatan untuk bersoasialisasi dengan sesama warga, saling bertukar kabar, dan kesempatan untuk menjaga keakraban dengan warga lain. Secara tidak langsung, setiap warga akan diajarkan tentang satu bagian dari konsep Tri Hita Karana, bahwa keseimbangan hidup akan tercapai dengan membina hubungan baik dengan sesame.
3.
3. Gotong Royong
Alang Tujung
Alang Tulung adalah salah satu sistem Gotong
royong pada masyarakat Gayo, di propinsi Aceh. Tradisi ini berhubungan erat
dengan sendi sendi kehidupani,termasuk religi dan ekonomi. tradisi ini sangat
lekat dengan masyarakat gayo sebagai sumber kekuatan yang melekatkan mereka
sebagai satu suku.
4.
4. Gotong Royong
Gemohing
Gemohing, yaitu gotong royong dalam
masyarakat Lamaholot, Nusa Tenggara Timur, sudah berlangsung ratusan tahun.
Gemohing membantu masyarakat mengatasi kesulitan pekerjaan. Mereka bekerja
sambil berpantun dan menyanyikan lagu-lagu tradisional.
Di kalangan masyarakat Lamaholot yang meliputi warga Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Solor, Lembata, dan Pulau Alor-Pantar, gotong royong tradisional ini dilakukan untuk membersihkan ladang, menanam, memanen, dan membangun rumah. Adapun pembangunan kantor desa, sarana sanitasi, air bersih, jalan, jembatan, dan penguburan warga desa masuk kategori bakti desa.
Jumlah peserta gemohing antara 10 dan 50 orang. Satu keluarga bisa mengirim 2-5 orang. Jenis pekerjaan tergantung dari kebutuhan anggota.
Di kalangan masyarakat Lamaholot yang meliputi warga Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Solor, Lembata, dan Pulau Alor-Pantar, gotong royong tradisional ini dilakukan untuk membersihkan ladang, menanam, memanen, dan membangun rumah. Adapun pembangunan kantor desa, sarana sanitasi, air bersih, jalan, jembatan, dan penguburan warga desa masuk kategori bakti desa.
Jumlah peserta gemohing antara 10 dan 50 orang. Satu keluarga bisa mengirim 2-5 orang. Jenis pekerjaan tergantung dari kebutuhan anggota.
5.
5. Gotong
Royong Mapalus
Mapalus adalah suatu sistem atau
teknik kerja sama untuk kepentingan bersama dalam budaya Suku Minahasa. Secara
fundamental, Mapalus adalah suatu bentuk gotong royong tradisional yang
memiliki perbedaan dengan bentuk-bentuk gotong royong modern, misalnya:
perkumpulan atau asosiasi usaha. Secara filosofis, MAPALUS mengandung makna dan
arti yang sangat mendasar. MAPALUS sebagai local spirit and local wisdom
Masyarakat Minahasa yang terpatri dan berkohesi di dalamnya: 3 (tiga) jenis
hakikat dasar pribadi manusia dalam kelompoknya, yaitu: Touching Hearts,
Teaching Mind, dan Transforming Life. Mapalus adalah hakikat dasar dan
aktivitas kehidupan orang Minahasa (Manado) yang terpanggil dengan ketulusan
hati nurani yang mendasar dan mendalam (touching hearts) dengan penuh kesadaran
dan tanggung jawab menjadikan manusia dan kelompoknya (teaching mind) untuk
saling menghidupkan dan menyejahterakan setiap orang dan kelompok dalam
komunitasnya (transforming life). Menurut buku, The Mapalus Way, mapalus
sebagai sebuah sistem kerja yang memiliki nilai-nilai etos seperti, etos
resiprokal, etos partisipatif, solidaritas, responsibilitas, gotong royong,
good leadership, disiplin, transparansi, kesetaraan, dan trust.[2]
Seiring dengan berkembangnya fungsi-fungsi organisasi sosial yang menerapkan kegiatan-kegiatan dengan asas Mapalus, saat ini, Mapalus juga sering digunakan sebagai asas dari suatu organisasi kemasyarakatan di Minahasa
Seiring dengan berkembangnya fungsi-fungsi organisasi sosial yang menerapkan kegiatan-kegiatan dengan asas Mapalus, saat ini, Mapalus juga sering digunakan sebagai asas dari suatu organisasi kemasyarakatan di Minahasa
6.
6. Gotong Royong Dalam Suku Dayak
Sifat gotong royong dalam masyarakat
suku Dayak masih tetap terpelihara terutama dalam gerak hidup bermasyarakat
yang tercermin dari tradisi kerja Habaring Hurung (gotong royong), Handep dan
Harubuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar