KORUPSI MERAJALELA
Tindak
perilaku korupsi akhir-akhir ramai di perbincangkan, baik di media massa maupun maupun media cetak. Tindak korupsi
ini mayoritas dilakukan oleh para pejabat tinggi negara yang sesungguhnya
dipercaya oleh masyarakat luas untuk memajukan kesejahteraan rakyat sekarang
malah merugikan negara. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi
kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti
melekukan tindak korupsi. Maka dari itu, di sini kami akan membahas tentang
korupsi di Indonesia dan upaya untuk memberantasnya.
Arti harifiah adalah Kebusukan, keburukan,
kebejatan, ke tidak jujuran, dapat di suap, Tidak bermoral, penyimpangan dari
ke sucian.Menurut perspektif hukum, definisi korupsi di jelaskan dalam 13 pasal
( UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 ) Merumuskan 30 bentuk / Jenis
tindak pidana korupsi, yang di kelompokan SBB :
1. Kerugian keuangan negara
2. Suap menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam
pengadaan
7. Gratifikasi
Korupsi di Indonsia dimulai sejak
era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun
sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 yang diikuti
dengan dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan
Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin
langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata.
Pada era Orde Baru, muncul
Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan “Operasi Tertib”yang dilakukan Komando
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), namun dengan kemajuan
iptek, modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga Undang-Undang
tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999.
Upaya-upaya hukum yang telah
dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan sistematis. Namun
korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami
krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya
menjadi krisis multidimensi. Gerakan
reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain ditegakkannya
supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN).
Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999
& Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan Negara yang
Bersih & Bebas dari KKN.
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang
bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas
tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
1. Kerugian
keuntungan Negara
2. Suap-menyuap
(istilah lain : sogokan atau pelicin)
3. Penggelapan
dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan
curang
6. Benturan
kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi
(istilah lain : pemberian hadiah).
Rakyat kecil yang tidak memiliki
alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan sanksi pada umumnya bersikap
acuh tak acuh. Namun yang paling menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis
dengan semakin meluasnya praktik-praktik korupsi oleh be-berapa oknum pejabat
lokal, maupun nasional.
Kelompok
mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan de-monstrasi.
Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang korup” dan “derita rakyat”.
Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada para
korup-tor. Hal ini cukup berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998.
Mereka tidak puas terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat.
Oleh karena itu, mereka ingin berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap
masyarakat dan sistem pemerin-tahan secara menyeluruh, mencita-citakan
keadilan, persamaan dan kesejahteraan yang merata.
Fenomena
umum yang biasanya terjadi di negara berkembang, contohnya Indonesia, ialah:
1. Proses modernisasi belum
ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia pada lembaga-lembaga politik yang
ada.
2. Institusi-institusi politik
yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya “ok-num” lembaga tersebut
dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial, keaga-maan, kedaerahan,
kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.
3. Selalu muncul kelompok sosial
baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak
mampu.
4. Mereka hanya ingin memuaskan
ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih “kepentingan rakyat”.
Sebagai akibatnya, terjadilah
runtutan peristiwa sebagai berikut :
1. Partai politik sering
inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering beru-bah-ubah sesuai
dengan kepentingan politik saat itu.
2. Muncul
pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepenting-an umum.
3. Sebagai oknum pemimpin
politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba mencari keuntungan materil
dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.
4. Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena
menonjolkan pemupukan harta dan kekuasaan. Dimulailah pola tingkah para
korup.
5. Sumber kekuasaan dan ekonomi
mulai terkonsentrasi pada beberapa kelompok kecil yang mengusainya saja. Derita
dan kemiskinan tetap ada pada kelompok masyarakat besar (rakyat).
6. Lembaga-lembaga politik
digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai sektor di bidang politik dan
ekonomi-bisnis.
7. Kesempatan korupsi lebih
meningkat seiring dengan semakin meningkatnya ja-batan dan hirarki politik
kekuasaan.
Mewujudkan keseriusan pemerintah
dalam upaya memberantas korupsi, Telah di keluarkan berbagai kebijakan. Di
awali dengan penetapan anti korupsi sedunia oleh PBB pada tanggal 9 Desember
2004, Presiden susilo Budiyono telah mengeluarkan instruksi Presiden Nomor
5tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan
secara khusus Kepada Jaksa Agung Dan kapolri:
1. Mengoptimalkan
upaya – upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk
menghukum pelaku dan menelamatkan uang negara.
2. Mencegan
& memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang yg di lakukan
oleh jaksa (Penuntut Umum)/ Anggota polri dalam rangka penegakan hukum.
3. Meningkatkan
Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain denagan
BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya penegakan hukum dan
pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi
Kebijakan selanjutnya adalah
menetapkan Rencana aksi nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009.
Langkah – langkah pencegahan dalam RAN-PK di prioritaskan pada :
1. Mendesain
ulang layanan publik .
2. Memperkuat
transparasi, pengawasan, dan sanksi pada kegiatan pemerintah yg berhubungan
Ekonomi dan sumber daya manusia.
3. Meningkatkan
pemberdayaan pangkat – pangkat pendukung dalam pencegahan korupsi.
Partisipasi
dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya
pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain.
KPK yang ditetapkan melalui
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberan-tas korupsi, merupakan
komisi independen yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para pelaku
tindak KKN.
Adapun agenda KPK adalah
sebagai berikut :
1. Membangun kultur yang
mendukung pemberantasan korupsi.
2. Mendorong
pemerintah melakukan reformasi public sector dengan mewujudkan good
governance.
3. Membangun
kepercayaan masyarakat.
4. Mewujudkan keberhasilan
penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
5. Memacu
aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.
Bentuk – bentuk peran serta
mayarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menurut UU No. 31 tahun
1999 antara lain adalah SBB :
1. Hak
Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana
korupsi
2. Hak untuk
memperoleh layanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya
dugaan telah tindak pidana korupsi kepada penegak hukum
3. Hak
menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kpada penegak hukum
yang menangani perkara tindak pidana korupsi
4. Hak
memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yg di berikan kepada penegak
hukum waktu paling lama 30 hari
5. Hak untuk
memperoleh perlindungan hukum
6. Penghargaan
pemerintah kepada mayarakat
Ada beberapa upaya yang dapat
ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indone-sia, antara lain sebagai
berikut :
a. Upaya
pencegahan (preventif).
b. Upaya
penindakan (kuratif).
c. Upaya
edukasi masyarakat/mahasiswa.
d. Upaya
edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
1. Upaya Pencegahan (Preventif)
a. Menanamkan semangat nasional
yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada bangsa dan negara melalui
pendidikan formal, informal dan agama.
b. Melakukan penerimaan pegawai
berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
c. Para pejabat dihimbau untuk
mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki tang-gung jawab yang tinggi.
d. Para pegawai selalu
diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan masa tua.
e. Menciptakan aparatur pemerintahan
yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
f. Sistem keuangan dikelola oleh
para pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi dan dibarengi sistem
kontrol yang efisien.
g. Melakukan pencatatan ulang
terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
h. Berusaha melakukan
reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan mela-lui penyederhanaan
jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.
2. Upaya Penindakan (Kuratif)
Upaya
penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan
dibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapa
contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK :
a. Dugaan korupsi dalam
pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004).
b. Menahan Konsul Jenderal RI di
Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan pungutan liar dalam pengurusan
dokumen keimigrasian.
c. Dugaan korupsi dalam Proyek
Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004).
d. Dugaan penyalahgunaan jabatan
dalam pembelian tanah yang merugikan keuang-an negara Rp 10 milyar lebih
(2004).
e. Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment
dan placement deposito dari BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI
(2004).
f. Kasus korupsi dan penyuapan
anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
g. Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta
(2005).
h. Kasus penyuapan Hakim Agung
MA dalam perkara Probosutedjo.
i. Menetapkan
seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus korupsi
Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar
(2004).
j. Kasus korupsi di KBRI
Malaysia (2005).
3. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa
a. Memiliki tanggung jawab guna
melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial terkait dengan kepentingan
publik.
b. Tidak bersikap apatis dan
acuh tak acuh.
c. Melakukan kontrol sosial pada
setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional.
d. Membuka wawasan
seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan peme-rintahan negara dan
aspek-aspek hukumnya.
e. Mampu memposisikan diri
sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap pengambilan
keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.
4.
Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat):
a. Indonesia
Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang meng-awasi dan
melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari
sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi me-lalui
usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW la-hir di
Jakarta pd tgl 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang
meng-hendaki pemerintahan pasca-Soeharto yg bebas korupsi.
b. Transparency International (TI) adalah organisasi
internasional yang bertujuan memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman
sebagai organisasi nirlaba se-karang menjadi organisasi non-pemerintah yang
bergerak menuju organisasi yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang
terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang membentuk
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai
kota terkorup di Indonesia, disu-sul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan
survei TI pada 2005, In-donesia berada di posisi keenam negara terkorup di
dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia,
Irak, Libya dan Usbekistan, ser-ta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya,
Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti & Myanmar. Sedangkan
Islandia adalah negara terbebas dari korupsi.
Dari teori yang telah kami sajikan, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur
birokrasi serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat
bersumber dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan sistem
administrasi negara dengan birokrasi sebagai prangkat pokoknya.
Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi.
Seperti halnya delik-delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi
di Indonesia masih begitu rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk
membelokkan hukum menurut kepentingannya. Dalam realita di lapangan, banyak
kasus untuk menangani tindak pidana korupsi yang sudah diperkarakan bahkan
terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari hukuman. Itulah
sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak drastis, upaya pemberantasan
korupsi dapat dipastikan gagal.
Meski demikian, pemberantasan korupsi jangan menajadi “jalan
tak ada ujung”, melainkan “jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan”.
Upaya-upaya untuk mengatasi persoalan korupsi dapat ditinjau dari struktur atau
sistem sosial, dari segi yuridis, maupun segi etika atau akhlak manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar